Beberapa tahun yang lalu saya bertemu dengan seseorang yang akhirnya dia menjadi teman saya. Saya masih ingat betul bagaimana percakapan awal saya dengannya. Seperti halnya orang yang pertama kali ketemu, sebagaimana halnya Budaya kita yang banyak menggunakan basa basi, saya menanyakan pertanyaan umum yang biasa dilontarkan orang. "Asli mana mas?" Sejenak dia terdiam. Tak berapa lama dia menjawab "saya asli Indonesia". Saya tertawa mendengar jawabannya. Dengan sedikit joke saya memancing "kok bisa?" Dia pun menjawab "saya lahir di Irian, ayah saya orang Medan sedangkan ibu saya orang Jawa. Di Irian saya cuman 3 tahun, kemudian saya pindah ke Pontianak sampai lulus TK. SD saya di Lampung samapai SMP kelas dua. Kemudian saya pindah Medan sampai lulus SMP. SMA saya di Jakarta dan kemudian kaya saat ini saya kuliah di jogja. Jadi aku harus jawab apa? Orang Indonesia bukan?"
Sambil tertawa saya terus berfikir, terus budaya apa yang dia pake? Maksud saya adalah budaya apa yang dominan di dirinya? Bukankah dari kita mempunyai budaya dominan? Saya misalnya, lahir dan dibesarkan di Jawa- lantas segala apa yang saya lakukan, baik konteks canda , gaya bicara maupun kelakuan setidaknya akan tercermin pada sebagian besar apa ya g dilakukan orang Jawa, walaupun pada akhirnya budaya tersebut akhirnya tercampur aduk menjadi Budaya baru, budaya Indonesia. Karena sehebat-hebatnya kita, pasti akan luluh dengan 'persilangan' budaya yang karena setelah adanya globalisasi 'nasional' persilangan antar ras,Suku maupun agama menjadi sesuatu yang Tak pelak dihindarkan. Karena bagaimanapun juga 'globalisasi' ini telah ada di bidang pendidikan, kerja, maupun yang lainnya.
Yang jadi poinnya adalah : 'globalisasi'itu membentuk suatu kebudayaan baru, kebudayaan campuran namun masih memperlihatkan kebudayaan ibu.
Saya sangat yakin kenapa 'pergesekan' antar budaya tersebut merupakan sesuatu yang positif, maksut saya positif apabila dilihat dari segi positifnya :D
bukan saya membenci kebudayaan saya. tapi saya membeci orang orang yang terlalu fanatik terhadap budayanya. kenapa saya benci, karena dengan mereka terlalu idealis berarti mereka mengabaikan kenyamanan kebudayaan lainya. karena pada dasarnya batasan bagus atau tidak itu relatif. orang daerah pegunungan yang terlalu cuek akan dianggap 'weird' oleh orang dataran rendah dan sebaliknya, orang desa yang jauh dari akses terhadap pusa-pusat pencampuran budaya akan dianggap negatif oleh orang orang yang terhegemoni kebudayaan baru. banyak yang membaggakan kebudayaan mereka dengan embel embel untuk mempertahankanya. namun apakah semua itu relevansi dengan perkembangan zaman yang terus berubah? bukankah itu malah akan membunuh diri secara perlahan.
mungkin kalo kebudayaan itu bersifat epic yang positif gitu tidak masalah, bisa dijadikan aset. namun jika kebudayaan tersebut bersifat tradisi yang (untuk zaman sekarang) dianggap negatif? seperti tata kesopanan yang parah. ludah di sembarang tempat, kentut di sembarang tempat, rokok tanpa tahu aturan kebersihan, atau topik pembicaraan seronoh di depan orang yang berpendidikan? bagi saya itu adalah sesuatu yang sangat tidak bisa ditoleransi.