Salah satu Teman Belum lama ini dia menjalankan ibadah umroh bersama keluarganya. Ketika dia pulang ke jogja, tak segan-segan dia menceritakan pengalaman umrohnya, cerita ini bukan sekedar cerita biasa yang dilontarkan oleh mereka yang telah menginjakan kaki di tanah arab, melainkan sebuah cerita yang secara tidak langsung membuka wawasan kita untuk menilai kebudayaan arab dari sisi yang jarang diangkat orang.
“ketika saya keluar
hotel, saya menyalakan rokok kretek saya yang di bawa dari tanah air. Saya merokok
di pinggiran hotel”, begitu teman saya memulai cerita. “namun tiba-tiba seorang
penduduk lokal berteriak, HARAM! HARAM! Dari kejauhan dan menunjuk ke arah saya
dengan jemarinya. Orang itu berjalan ke arah saya masih menyebutkan kata haram.
Saya sudah bingung karena takut telah melakukan kesalahan di negara yang
dianggap sebagai tempat tersuci di dunia oleh kaum muslim. Namun ketika orang
itu dihadapan saya, tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah bungkus rokok dari
sakunya, dan berkata, This Is Halal
dengan logat arab yang kental. Seketika itu saya tertawa dan menganggap bahwa
orang arab mempunyai selera humor yang tinggi”. Saya tertawa mendengar cerita
teman saya tersebut. yang menjadi sorotan bagi saya adalah penggunaan konsep ‘haram’
dan ‘halal’ untuk menyatakan sesuatu sebagai hal yang dianggap melanggar hukum
ataupun tidak.
Teman saya kemudian
melanjutkan bahwa dia mengobrol dengan orang tersebut. orang tersebut ‘menawarkan’
perempuan. orang tersebut menawarkan perempuan bukan dalam artian perempuan
jalang seperti di indonesia. Melainkan menawarkan anaknya untuk bisa dimiliki
ketika anak itu sudah ‘halal’ yang menandakan anak itu cukup secara umur. walaupun
pembicaraan mereka masih tergolong dalam koridor joke, namun hal tersebut bisa mengarah kepada konsep serius jika
ditilik lebih dalam. Jika bentuk penghargaan terhadap perempuan di arab
dianggap sebagai bentuk transaksional saja, dalam artian bahwa perempuan
dianggap dimiliki oleh pria jika sudah ‘dibeli’ dengan mahar ketika ingin
menikahinya maka kasus-kasus mengenai TKW indonesia yang mengalami kekerasan,
baik kekerasan fisik maupun seksual merupakan bentuk pemahaman terhadap dua
kebudayaan yang sangat berbeda. Di satu sisi menganggap itu sebagai kejahatan
yang tidak layak karena kita memandang permepuan dengan posisinya di indonesia.
Sedangkan di satu sisi, perempuan yang dianggap ‘terbeli’ dalam artian telah
membayar untuk bisa dipekerjakan di tempatnya, mereka menganggap memiliki hak
untuk melakukan sesuatu diluar kontrak kerjanya. Karena memang kebudayaanyalah
yang telah menkonstruksi selama beratus-ratus tahun lamanya.
Posisi perempuan
tersebut bisa dipahami lebih jauh ketika teman saya menceritakan kebanggaan
orang arab untuk memiliki istri. Semakin banyak istri seolah-olah nilai prestigenya semakin tinggi. Teman saya
yang baru berumur 23 tahun, ditanya oleh pemuda arab yang bermumur 24 tahun.
“umur berapa?”, pemuda
arab itu bertanya.
“23 tahun.” Teman saya menjawab.
“Istri berapa?”
“masih single”
Mendengar jawaban
teman saya tersebut, pemuda arab tersebut langsung menjawab,
“saya, umur 24
tahun, istri dua, hahaha” sambil tertawa sambil menunjukan kebangganya memiliki
istri lebih dari satu di usia muda.
Tapi semua itu
kembali kepada pribadi masing-masing untuk memahami fenomena tersebut. karena
bagaimanapun informasi ini hanya berdasarkan pengalaman yang ada, pengalaman
teman saya.