arsip

Jumat, 27 Juni 2014

ORANG DESA BICARA POLITIK (Pengalaman 'Diserang' oleh Masyarakat Desa Tentang PILPRES 2014)


Tulisan ini bukan bertujuan untuk mengarahkan pembaca untuk memilih seseorang. Namun tulisan ini hanyalah pengalaman saya yang dibumbui dengan pendapat berdasarkan info-info yang saya percayai sebagai dasar untuk menentukan pemimpin negeri. tulisan ini tidak bermaksud mengajak, hanya memberi pemahaman terhadap fenomena yang ada dari sudut pandang saya.

      Tiga hari yang lalu saya pergi ke tempat om saya di daerah Temanggung, Jawa tengah dalam rangka acara keluarga. keluarga besar saya datang berkumpul dalam satu rumah. Bapak-bapak, ibu-ibu, simbah semuanya datang. Dalam perkumpulan itu ada satu kejadian yang sempat menjadikan saya berfikir beberapa kali untuk melihat lebih dalam suatu fenomena. Ketika saya berkumpul dalam sebuah kelompok yang terdiri dari bapak-bapak paruh baya, dan beberapa terdapat simbah yang bisa dikatakan tua, saya tidak sengaja memulai percakapan yang mengarahkan mereka pada pembicaraan yang sedang hangat saat ini. Capres.
       Dalam sekejap, saya ‘diserang’ oleh beberapa bapak-bapak yang mempertahankan bahkan mensugesti bapak-bapak lain untuk mengikuti pendapatnya. Beberapa dari mereka saling melengkapi, beberapa dari mereka hanya diam mengangguk-angguk seolah-oalah tidak paham terhadap situasi.
      Sebagai orang yang mempunyai pandangan yang berbeda dibandingkan dengan rata-rata pandangan mereka, di satu sisi saya merasa senang, sendangkan disisi lain saya merasa sedih.
      Saya senang karena masyarakat mulai sadar politik, masyarakat mulai sadar bagaimana pemimpin negara merupakan ujung tombak dari kebijakan-kebijakan yang secara langsung maupun tidak akan memengaruhi nasib mereka. Namun disisi lain saya merasa sedih karena kesadaran politik mereka tidak diimbangi dengan kesadaran toleransi, tidak diimbangi kesadaran menghargai pendapat orang lain. Saya melihat bagaimana mereka saling ‘memaksakan’ pendapat untuk memilih nomor sekian, terutama nomor di sebelah kanan. bahkan tidak segan-segan salah satu dari mereka ‘memerintahkan’ kepada kelompok itu untuk memilih nomor kanan.
      Saya sebagai seorang yang mempunyai pandangan bersebrangan dari rata-rata mereka tentunya menjadi bulan-bulanan yang tidak lagi mempunyai suara. Seolah-olah hak menyampaikan pendapat saya dicabut. Setiap saya menyampaikan atau membenarkan suatu informasi, dianggap sebagai sesuatu yang salah. Sebenarnya apa yang membuat masyarakat bisa begitu kolot untuk mempertahankan apa yang dia percaya?. Saya terus berfikir mengenai hal itu, karena kebanyakan pendapat mereka bukan merupakan pendapat yang valid. Kebanyakan dari mereka termakan oleh informasi-informasi yang didistribusikan oleh televisi. Begitu hebatnya televisi hingga bisa memengaruhi pemikiran masyarakat sebegitu hebatnya. Yang menjadi masalah adalah, mereka memahami fakta-fakta yang disampaikan oleh televisi dengan cara pandang mereka. Mereka memahami setiap informasi-informasi yang disampaikan di televisi sebagai sebuah informasi final yang tidak dapat diganggu gugat kebenaranya. Seolah-olah semua informasi itu adalah fakta-fakta yang memang berasal dari lapangan.
       Saya tidak pernah terpikirkan bahwa pemakaian kata “dipecat secara terhormat” yang dilontarkan oleh salah satu tim sukses prabowo dalam sebuah wawancara di sebuah stasiun TV maupun hal sejenis lain yang relevan merupakan ‘senjata’ yang sangat ampuh untuk masyarakat di daerah, khususnya masyarakat pedesaan. Saya selalu memahami kalimat tersebut sebagai sesuatu yang biasa saja. Karena mungkin pola pikir saya berdasarkan koridor hukum yang berlaku. Saya selalu melihat pola yang ada, KPU dapat meloloskan prabowo sebagai calon presiden, tentunya dia sudah lolos dari regulasi KPU yang tentunya berdasarkan konstitusi yang ada. dan pola tersebut yang saya jadikan dasar untuk menentukan apakah kasus-kasus yang sering diangkat di televisi tersebut relevan dengan pencapresan tokoh tersebut atau hanya dijadikan sebagai senjata untuk berebut suara.
        Namun untuk masyarakat pedesaan, kalimat tersebut merupakan senjata yang sangat ampuh. Kalimat tersebut dicerna secara mentah berdasarkan pemahaman mereka tentang konsep pemecatan. di desa mereka memahami konsep pemecatan sebagai sesuatu yang dikeluarkan secara paksa, dan tidak ada konsep ‘pemecatan secara hormat’. Karena mereka menganalogikan dengan konsep yang mereka pahami setiap hari. ‘pemecatan’ dan ‘penghormatan’ merupakan konsep yang saling berlawanan, dan mereka tidak bisa memahami hal tersebut sebagai satu kesatuan.
      Hal ini relevan dengan pola kerja mereka yang tidak mengenal istilah-istilah yang biasa kita pahami dalam bekerja. Jika dalam model perusahaan, pola resign bisa dalam berbagai bentuk yang kita pahami sebagai sesuatu yang tidak sama. Diberhentikan, mengundurkan diri, dipecat  merupakan konsep yang dipahami sebagai kesatuan yang berbeda. Sehingga bisa dikatakan bahwa masyarakat yang mempunyai akses terhadap sektor formal ini (yang cenderung berpendidikan lebih tinggi dibandingkan dengan di desa) dapat memahami arti baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dimaksutkan bahwa masyarakat mengerti struktur yang ada dalam kemiliteran sehingga dapat menyimpulkan sendiri istilah ‘pemecatan terhormat’ yang telah banyak dilontarkan sebagai sesuatu yang wajar. Tidak langsung dimaksutkan bahwa dengan mengerti banyak konsep yang ada tentang berhentinya suatu jabatan, dapat memahami bahwa pemberhentian seperti yang diutarakan diatas merupakan sesuatu yang wajar, walau secara teknis tidak mengerti, atau dapat dikatakan masyarakat jenis ini mengerti pola yang ada. saya terus ingat ketika salah satu dari orang tua tersebut berbicara lantang, “masa ada dipecat kok dengan hormat, namanya dipecat yang tetep dipecat. Aneh-aneh aja mau buat istilah”. Orang tua yang lain juga menanggapi dengan nada yang saling mendukung. Dia bahkan menganalogikan dengan salah satu rekan dia yang dipecat karena melakukan suatu kejahatan di tempat kerja, “ liat si A, masa iya dia kita bisa bilang kalo dia dipecat menggunakan cara terhormat? Tidak mungkinlah!”. Hampir semua bapak-bapak saling bersaut suara mendukung informasi yang mereka cerna dengan pengertian mereka. Sangat disayangkan media menggunakan cara-cara ‘alternatif’ dengan memilih diksi tertentu yang ditujukan untuk masyarakat pedesaan.
         Hal serupa juga terjadi dalam pemakaian atribut. Sepertinya masyarakat pedesaan sudah mulai trauma untuk memilih seseorang yang berlatar belakang elit. Paradigma yang ada menganggap bahwa para elit identik dengan korupsi yang berarti mengesampingkan kompetensi. Sehingga figur yang dekat dengan mereka menjadi sesuatu yang dirindukan oleh masyarakat. Figur ini selalu diidentifikasikan dengan ciri fisik yang lebih dekat dengan keseharian mereka. Ciri fisik ini merupakan representasi pengalaman-pengalaman terhadap cara berpakaian, berfikir, bertindak, dan berbicara. Saya masih menyoroti pengalaman saya tersebut. ketika mereka bersikeras mendukung jokowi dengan alasan memakai sepatu yang berharga 100 ribu. Salah seorang berkata “coba liat jokowi, sepatu aja 100 ribu, kaya gitu itu masih mau dibilang korupsi?”. Saya berfikir keras, bagaimana mereka menyatakan seseorang sebagai seorang yang tidak korupsi hanya menggunakan indikator ciri atribut?, sedangkan informasi yang diterima hanya didapatkan melalui media televisi tanpa melihat faktor lain yang seharusnya bisa dijadikan indikator yang lebih valid daripada hanya berdasarkan ciri atribut. 
      Saya kembali kepada media yang terus ‘berperang’. Di satu sisi selalu menonjolkan figurnya dengan cara mencari kelemahan lawan. Disatu sisi selalu menunjukan kelebihan yang ada dalam figurnya dan tidak dimiliki figur lain. Konsep-konsep seperti itu merupakan bentuk penetrasi kepada masyakat (terutama masyarakat pedesaan) yang secara tidak langsung mempresepsikan dirinya untuk menganggap bahwa ciri-ciri tersebut merupakan bentuk yang harus dipertimbangkan dalam menentukan.  Sebagaimana yang telah saya singgung diatas, bagaimana sebuah harga sepatu menentukan persepsi. dengan keterbatasan akses, baik informasi maupun pendidikan. Masayarakat pedesaan selalu menganggap semua informasi yang ada dalam televisi sebagai informasi final. Tak heran jika apa yang mereka tonton setiap hari merupakan bentuk konsumsi fakta yang (mungkin) sebenarnya hanya sebuah peristiwa transaksional saja. media merupakan bentuk jual beli fakta maupun sesuatu yang dianggap sebagai fakta (difaktakan).
    Perdebatan diantara bapak-bapak tersebut memuncak ketika membicarakan sektor paling strategis di negri ini. Pertanian!. Dan ketika mereka membicarakan hal ini secara meluap-luap, saya terkejut dan sungguh diluar dugaan saya mendengar pernyataan mereka yang  berbicara bagaimana ketidaksetujuan mereka terhadap konsep pemajuan di bidang sektor pertanian. Saya heran karena bagaimanapun juga mereka hidup didasarkan atas sektor pertanian, namun mereka sendiri yang membantah bahwa mereka tidak akan hidup sebagai petani. Saya mulai paham ketika pernyataan mereka hanya didasarkan bagaimana kesejahteraan yang mereka dapat tidak sebanding dengan pengorbanan mereka. Mereka menganggap bahwa sektor pertanian tidak dapat diandalkan. Mereka selalu menyatakan, “mending jadi buruh pabrik, gaji udah lumayan bisa makan. Daripada jadi tani, mau ngapa-ngapain selalu bangkrut. Aku kasih tau ya kamu, jadi petani itu paling susah. Mau nyekolahin anak aja harus jual tanah pertanian yang menjadi tumpuan hidup. Toh apabila lahan itu dikelola sendiri, belum tentu bisa makan hasilnya”. Saya mulai paham bahwa adanya trauma di masyakat petani (khususnya di temanggung) sebagai akibat ketidakstabilan harga komoditas. Mereka membenci pekerjaan mereka karena mereka tidak punya harapan bahwa sektor pertanian dapat mensejahterakan mereka.

Saya lanjutkan besok deh.... ngantuk nih.