Tulisan ini bukan bertujuan untuk mengarahkan pembaca untuk memilih seseorang. Namun tulisan ini hanyalah pengalaman saya yang dibumbui dengan pendapat berdasarkan info-info yang saya percayai sebagai dasar untuk menentukan pemimpin negeri. tulisan ini tidak bermaksud mengajak, hanya memberi pemahaman terhadap fenomena yang ada dari sudut pandang saya.
Tiga hari yang lalu
saya pergi ke tempat om saya di daerah Temanggung, Jawa tengah dalam rangka
acara keluarga. keluarga besar saya datang berkumpul dalam satu rumah.
Bapak-bapak, ibu-ibu, simbah semuanya datang. Dalam perkumpulan itu ada satu
kejadian yang sempat menjadikan saya berfikir beberapa kali untuk melihat lebih
dalam suatu fenomena. Ketika saya berkumpul dalam sebuah kelompok yang terdiri
dari bapak-bapak paruh baya, dan beberapa terdapat simbah yang bisa dikatakan
tua, saya tidak sengaja memulai percakapan yang mengarahkan mereka pada
pembicaraan yang sedang hangat saat ini. Capres.
Dalam sekejap, saya
‘diserang’ oleh beberapa bapak-bapak yang mempertahankan bahkan mensugesti
bapak-bapak lain untuk mengikuti pendapatnya. Beberapa dari mereka saling
melengkapi, beberapa dari mereka hanya diam mengangguk-angguk seolah-oalah
tidak paham terhadap situasi.
Sebagai orang yang
mempunyai pandangan yang berbeda dibandingkan dengan rata-rata pandangan
mereka, di satu sisi saya merasa senang, sendangkan disisi lain saya merasa
sedih.
Saya senang karena
masyarakat mulai sadar politik, masyarakat mulai sadar bagaimana pemimpin
negara merupakan ujung tombak dari kebijakan-kebijakan yang secara langsung
maupun tidak akan memengaruhi nasib mereka. Namun disisi lain saya merasa sedih
karena kesadaran politik mereka tidak diimbangi dengan kesadaran toleransi,
tidak diimbangi kesadaran menghargai pendapat orang lain. Saya melihat
bagaimana mereka saling ‘memaksakan’ pendapat untuk memilih nomor sekian,
terutama nomor di sebelah kanan. bahkan tidak segan-segan salah satu dari
mereka ‘memerintahkan’ kepada kelompok itu untuk memilih nomor kanan.
Saya sebagai seorang
yang mempunyai pandangan bersebrangan dari rata-rata mereka tentunya menjadi
bulan-bulanan yang tidak lagi mempunyai suara. Seolah-olah hak menyampaikan
pendapat saya dicabut. Setiap saya menyampaikan atau membenarkan suatu
informasi, dianggap sebagai sesuatu yang salah. Sebenarnya apa yang membuat
masyarakat bisa begitu kolot untuk mempertahankan apa yang dia percaya?. Saya
terus berfikir mengenai hal itu, karena kebanyakan pendapat mereka bukan
merupakan pendapat yang valid. Kebanyakan dari mereka termakan oleh
informasi-informasi yang didistribusikan oleh televisi. Begitu hebatnya
televisi hingga bisa memengaruhi pemikiran masyarakat sebegitu hebatnya. Yang
menjadi masalah adalah, mereka memahami fakta-fakta yang disampaikan oleh
televisi dengan cara pandang mereka. Mereka memahami setiap informasi-informasi
yang disampaikan di televisi sebagai sebuah informasi final yang tidak dapat
diganggu gugat kebenaranya. Seolah-olah semua informasi itu adalah fakta-fakta
yang memang berasal dari lapangan.
Saya tidak pernah
terpikirkan bahwa pemakaian kata “dipecat secara terhormat” yang dilontarkan
oleh salah satu tim sukses prabowo dalam sebuah wawancara di sebuah stasiun TV
maupun hal sejenis lain yang relevan merupakan ‘senjata’ yang sangat ampuh
untuk masyarakat di daerah, khususnya masyarakat pedesaan. Saya selalu memahami
kalimat tersebut sebagai sesuatu yang biasa saja. Karena mungkin pola pikir
saya berdasarkan koridor hukum yang berlaku. Saya selalu melihat pola yang ada,
KPU dapat meloloskan prabowo sebagai calon presiden, tentunya dia sudah lolos
dari regulasi KPU yang tentunya berdasarkan konstitusi yang ada. dan pola
tersebut yang saya jadikan dasar untuk menentukan apakah kasus-kasus yang
sering diangkat di televisi tersebut relevan dengan pencapresan tokoh tersebut
atau hanya dijadikan sebagai senjata untuk berebut suara.
Namun untuk masyarakat
pedesaan, kalimat tersebut merupakan senjata yang sangat ampuh. Kalimat
tersebut dicerna secara mentah berdasarkan pemahaman mereka tentang konsep
pemecatan. di desa mereka memahami konsep pemecatan sebagai sesuatu yang
dikeluarkan secara paksa, dan tidak ada konsep ‘pemecatan secara hormat’.
Karena mereka menganalogikan dengan konsep yang mereka pahami setiap hari.
‘pemecatan’ dan ‘penghormatan’ merupakan konsep yang saling berlawanan, dan
mereka tidak bisa memahami hal tersebut sebagai satu kesatuan.
Hal ini relevan dengan
pola kerja mereka yang tidak mengenal istilah-istilah yang biasa kita pahami
dalam bekerja. Jika dalam model perusahaan, pola resign bisa dalam berbagai bentuk yang kita pahami sebagai sesuatu
yang tidak sama. Diberhentikan, mengundurkan diri, dipecat merupakan konsep yang dipahami sebagai
kesatuan yang berbeda. Sehingga bisa dikatakan bahwa masyarakat yang mempunyai
akses terhadap sektor formal ini (yang cenderung berpendidikan lebih tinggi
dibandingkan dengan di desa) dapat memahami arti baik secara langsung maupun
tidak langsung. Secara langsung dimaksutkan bahwa masyarakat mengerti struktur
yang ada dalam kemiliteran sehingga dapat menyimpulkan sendiri istilah ‘pemecatan
terhormat’ yang telah banyak dilontarkan sebagai sesuatu yang wajar. Tidak langsung
dimaksutkan bahwa dengan mengerti banyak konsep yang ada tentang berhentinya
suatu jabatan, dapat memahami bahwa pemberhentian seperti yang diutarakan
diatas merupakan sesuatu yang wajar, walau secara teknis tidak mengerti, atau
dapat dikatakan masyarakat jenis ini mengerti pola yang ada. saya terus ingat
ketika salah satu dari orang tua tersebut berbicara lantang, “masa ada dipecat
kok dengan hormat, namanya dipecat yang tetep dipecat. Aneh-aneh aja mau buat
istilah”. Orang tua yang lain juga menanggapi dengan nada yang saling
mendukung. Dia bahkan menganalogikan dengan salah satu rekan dia yang dipecat
karena melakukan suatu kejahatan di tempat kerja, “ liat si A, masa iya dia
kita bisa bilang kalo dia dipecat menggunakan cara terhormat? Tidak mungkinlah!”.
Hampir semua bapak-bapak saling bersaut suara mendukung informasi yang mereka
cerna dengan pengertian mereka. Sangat disayangkan media menggunakan cara-cara ‘alternatif’
dengan memilih diksi tertentu yang ditujukan untuk masyarakat pedesaan.
Hal serupa juga
terjadi dalam pemakaian atribut. Sepertinya masyarakat pedesaan sudah mulai
trauma untuk memilih seseorang yang berlatar belakang elit. Paradigma yang ada
menganggap bahwa para elit identik dengan korupsi yang berarti mengesampingkan
kompetensi. Sehingga figur yang dekat dengan mereka menjadi sesuatu yang
dirindukan oleh masyarakat. Figur ini selalu diidentifikasikan dengan ciri
fisik yang lebih dekat dengan keseharian mereka. Ciri fisik ini merupakan
representasi pengalaman-pengalaman terhadap cara berpakaian, berfikir,
bertindak, dan berbicara. Saya masih menyoroti pengalaman saya tersebut. ketika
mereka bersikeras mendukung jokowi dengan alasan memakai sepatu yang berharga
100 ribu. Salah seorang berkata “coba liat jokowi, sepatu aja 100 ribu, kaya
gitu itu masih mau dibilang korupsi?”. Saya berfikir keras, bagaimana mereka
menyatakan seseorang sebagai seorang yang tidak korupsi hanya menggunakan
indikator ciri atribut?, sedangkan informasi yang diterima hanya didapatkan
melalui media televisi tanpa melihat faktor lain yang seharusnya bisa dijadikan
indikator yang lebih valid daripada hanya berdasarkan ciri atribut.
Saya kembali kepada
media yang terus ‘berperang’. Di satu sisi selalu menonjolkan figurnya dengan
cara mencari kelemahan lawan. Disatu sisi selalu menunjukan kelebihan yang ada
dalam figurnya dan tidak dimiliki figur lain. Konsep-konsep seperti itu merupakan
bentuk penetrasi kepada masyakat (terutama masyarakat pedesaan) yang secara
tidak langsung mempresepsikan dirinya untuk menganggap bahwa ciri-ciri tersebut
merupakan bentuk yang harus dipertimbangkan dalam menentukan. Sebagaimana yang telah saya singgung diatas,
bagaimana sebuah harga sepatu menentukan persepsi. dengan keterbatasan akses,
baik informasi maupun pendidikan. Masayarakat pedesaan selalu menganggap semua
informasi yang ada dalam televisi sebagai informasi final. Tak heran jika apa
yang mereka tonton setiap hari merupakan bentuk konsumsi fakta yang (mungkin)
sebenarnya hanya sebuah peristiwa transaksional saja. media merupakan bentuk
jual beli fakta maupun sesuatu yang dianggap sebagai fakta (difaktakan).
Perdebatan diantara
bapak-bapak tersebut memuncak ketika membicarakan sektor paling strategis di
negri ini. Pertanian!. Dan ketika mereka membicarakan hal ini secara meluap-luap,
saya terkejut dan sungguh diluar dugaan saya mendengar pernyataan mereka
yang berbicara bagaimana ketidaksetujuan
mereka terhadap konsep pemajuan di bidang sektor pertanian. Saya heran karena
bagaimanapun juga mereka hidup didasarkan atas sektor pertanian, namun mereka
sendiri yang membantah bahwa mereka tidak akan hidup sebagai petani. Saya mulai
paham ketika pernyataan mereka hanya didasarkan bagaimana kesejahteraan yang
mereka dapat tidak sebanding dengan pengorbanan mereka. Mereka menganggap bahwa
sektor pertanian tidak dapat diandalkan. Mereka selalu menyatakan, “mending
jadi buruh pabrik, gaji udah lumayan bisa makan. Daripada jadi tani, mau
ngapa-ngapain selalu bangkrut. Aku kasih tau ya kamu, jadi petani itu paling
susah. Mau nyekolahin anak aja harus jual tanah pertanian yang menjadi tumpuan
hidup. Toh apabila lahan itu dikelola sendiri, belum tentu bisa makan hasilnya”.
Saya mulai paham bahwa adanya trauma di masyakat petani (khususnya di
temanggung) sebagai akibat ketidakstabilan harga komoditas. Mereka membenci
pekerjaan mereka karena mereka tidak punya harapan bahwa sektor pertanian dapat
mensejahterakan mereka.
Saya lanjutkan besok deh.... ngantuk nih.