arsip

Minggu, 18 Agustus 2019

Teror Setiap jam 02.00 dini hari di rumah kontrakan Jalan Monjali Jogja



Beberapa waktu yang lalu sempat trending di Youtube mengenai pengalaman horor di salah satu rumah di Yogyakarta yang diprakarsai oleh Raditya Dika dan teman SMAnya Mizter. Melihat itu saya jadi inget pengalaman horor yang juga terjadi di Jogja, tepatnya di kontrakan yang saya sewa dulu ketika kuliah di UGM bersama teman-teman saya. Jika cerita dari Mizter tersebut menyebut lokasi rumah horor tersebut berada di jalan magelang sebelah selatan yang dekat dengan kota jogja (dari penggambaran denah di Vlog kedua Raditya Dika “Rumah Terseram Jogja”) yang berarti lokasi rumah tersebut terletak antara pasar kutu sampai keselatan sampai ke perempatan jetis. Uniknya cerita yang akan saya ceitakan ini juga mempunyai daerah yang hampir sama, terletak di daerah antara jalan magelang dan monjali di sebelah selatan. Entah kenapa saya teringat dengan cerita viral “keluarga tak kasat mata” yang sempat hits beberapa waktu yang lalu yang terjadi di sebuah rumah yang juga terletak di jalan magelang. Entah kenapa jalan magelang sebelah selatan ini sering terdapat kejadian-kejadian ganjil, terutama kejadian yang pernah saya dan teman teman alami.
Singkat cerita, cerita ini terjadi sekitar 11 tahun yang lalu, sekitar tahun 2009, ketika Jogja tidak seramai sekarang. Saya adalah mahasiswa semester tiga yang telah lebih dulu ngekos di daerah jalan ambarukmo plaza dari awal kuliah hingga akhir semester 2. Karena terlalu jauh dari kampus, saya memutuskan untuk mencari kontrakan yang dapat dihuni bareng bersama teman-teman di pertengahan 2009.  Setelah mencari beberapa kontrakan, akhirnya diputuskan untuk memilih rumah yang terletak di dekat jembatan teknik UGM dengan lokasi diantara jalan monjali dan jalan magelang ini sebagai hunian bersama yang dekat dengan kampus. Alasan kenapa memilih kontrakan itu adalah karena akses yang gampang, parkir yang luas, dekat dengan kampus, dan yang terpenting adalah harga yang sangat terjangkau melihat dari spesifikasi yang ada. Kontrakan ini berada di tengah kampung dengan jalan depan yang dapat dilalui oleh dua mobil secara mepet. Kontrakan ini mempunyai halaman depan dan belakang yang luas. Setidaknya halaman depa huja ditotal luasnya mungkin lebih dari 100 meter persegi, dan cukup untuk parkir empat mobil. Halaman depan mempunyai satu pohon mangga yang sudah besar yang sering berbuah saat musim mangga tiba. Dasaran dari halaman depan ini masih berupa tanah yang ditumbuhi rumput liar. Sewaktu saya awal menempati rumah ini, rumput sudah dipotong rapi pendek oleh yang punya, sehingga tidak ada kesan kumuh ataupun seram di rumah ini. Adapun halaman belakang terdiri dari sumur tua yang menjadi sumber utama air rumah ini. Di halaman belakang juga terdapat satu satunya bangunan kamar mandi yang terpisah dari bangunan utama rumah. Kamar mandi itu beratapkan seng dengan bangunan beton. Di atapnya terdapat struktur seng yang dikasih paku untuk menjemur baju atau menggantungkan sesuatu.
Meskipun sudah menggunakan bahan bangunan yang modern (plester semen, batu bata, keramik dkk) namun desain dari rumah ini masih menggunakan desain rumah jawa yang hanya terdiri dari kolom kosong berbentuk lorong dengan kamar-kamar yang berada di kanan dan kiri lorong tersebut dengan pintu depan dan belakang yang sejajar. Di bagian depan terdapat sofa yang kita jadikan sebagai ruang tamu dan garasi motor. Di ruang tengah terdapat buffet sebagai partisi dari kolom dan difungsikan untuk menaruh TV, dan area kumpul dan bermain games. Disebelah pintu belakang, terdapat wastafel dan dak dapur yang biasa digunakan untuk cuci muka dan memasak. adapun kamar mandi terdapat di halaman belakang yang terpisah dari rumah induk. Di halaman belakang tidak ada penerangan sama sekali kecuali di kamar mandi, sehingga jika kamar mandi tidak menyala maka halaman belakang pasti gelap gulita. Rumah kontrakan tersebut mempunyai lima kamar dengan bentuk kamar yang hampir sama kecuali dua kamar utama yang berada di depan dan belakang dekat dengan wastafel dimana kamar tersebut mempunyai ukuran yang lebih besar dibanginkan tiga kamar lain.
Selama lebih dari 6 bulan pertama tidak ada satupun yang mengalami hal-hal ganjil di rumah tersebut. Rumput yang rapi di halaman depan saat pertama kali mengontrak di rumah tersebut, akhirnya juga menjadi semak belukar dengan tinggi lebih dari  setengah meter. Sehingga rumah terlihat lebih tidak terurus dan kumuh. Ada 6 orang yang ikut mengontrak di rumah tersebut, Rusdi yang menempati kamar besar di depan. Ahmad dan Haryadi mereka berdua menempati kamar besar dibelakang. Jamal, Ndalepok, dan saya menempati kamar sisanya.
Kejadian ganjil dimulai ketika si Rusdi membeli 2 ekor burung hantu anakan yang ia beli di pasar hewan Ngasem (sebelum di pindahkan ke pasty, jalan bantul). Anakan burung hantu tersebut dibawa ke kontrakan dengan kurungan yang terbuat dari kawat ukuran 40 x 20 cm dengan pintu kecil yang berada di depan kurungan. Karena ukuran badan dari anakan burung hantu tersebut yang besar, pintu kurungan tidak dapat mengakomodasi anakan burung hantu untuk keluar. Sehingga untuk mengeluarkan burung hantu tersebut adalah dengan membongkar atap kurungan dengan melepaskan kaitan kawat. Dan setelah selesai dikeluarkan, anakan burung hantu tersebut dimasukan ke dalam kurungan melalui atap kurungan yang telah dibongkar dan direkatkan lagi atap kurungannya.
Saya ingat banget waktu itu siang hari, mungkin hari minggu. Karena waktu itu semua anak berada di kontrakan sedang kumpul di ruangan tengah di dekat tv. Teman saya, Rusdi mengeluarkan anakan burung hantu tersebut dengan membongkar atap dari kurungan dan kita memainkannya. Sungguh lucu anakan burung hantu tersebut.  Setelah selesai memainkan, anakan burung hantu tersebut kemudian dimasukan lagi kedalam kurungan, dan kurungan yang telah dibongkar atapnya itu kemudian ditutup kembali dengan mengkaitkan kawat kawat yang ada di atap dan di bodi kurungan. Waktu itu sekitar pukul lima sore. Anakan burung hantu yang ada di kurungan tersebut berada di dalam rumah hingga pukul setengah dua belas malam. Sebelum tidur, kurungan tersebut dipindahkan dan digantungkan di kamar mandi di halaman belakang rumah.
Berakhirlah hari itu.
Esok hari subuh,  Ndalepok hendak menunaikan sholat subuh. Ia pun wudhu ke kamar mandi halaman belakang. Samar samar dalam kegelapan ia melihat anakan burung hantu yang ada dalam kurungan tidak ada. Cuek saja, dia tetap wudhu dan melakukan sholat subuh. Setelah sholat subuh, Ndalepok kembali mengecek kurungan yang ada di kandang belakang. Dia benar-benar kaget karena anakan burung hantu tersebut hilang. Sontan dia membangunkan Rusdi sebagai pemilik dari anakan burung hantu tersebut. Setelah di cek lebih detil, ada kejanggalan dari hilangnya burung hantu tersebut. Kurungan burung hantu tersebut masih tetap utuh tanpa membuka sama sekali!. Setelah semua penghuni kontrakan bangun, ditanyain satu persatu mengenai perihal hilangnya burung hantu tersebut, dan tidak satu orangpun tahu. Mulailah dengan teori-teori kenapa burung tersebut bisa hilang. saya ingat betul waktu itu kalo ada yang bilang burung hantunya kabur. Namun tak mungkin juga bisa kabur karena kondisi kurungan masih dalam keadaan tertutup rapat, bahkan burung hantu tersebut tidak dapat keluar melalui pintu kurungan karena ukuran pintu yang tidak muat oleh badan burung hantu. Bahkan untuk mengeluarkan burung hantu tersebut harus membongkar atap kurungan. Teori kedua. Jika burung hantu tersebut dicuri, kayanya mustahil pencuri tersebut harus susah payah membongkar atap kurungan, mengambil burung hantu, dan kemudian menutup kembali kurungan tersebut dengan rapat. Nilai burung hantu tersebut tidak sepadan dengan resiko yang dikorbankan. Toh disitu masih ada barang-barang lain yang berharga, ada motor di halaman belakang, masuk samping pintu ada laptop dkk. Sangat mustahil kalo burung hantu tersebut dicuri. Beberapa terori dan argugmen saling berdebat bagaimana burung hantu tersebut hilang. Namun satupun tidak menemukan titik temu. Hingga saat ini kejadian hilangnya burung hantu tersebut masih menjadi misteri.
Saya tidur di kamar paling belakan, dekat dengan wastafel dapur. Selamat tidur di kontrakan tersebut lebih setengah tahun, belum pernah terjadi apa apa. Nah malam itu saya tidur dengan keadaan berbeda. Saya tidur seperti biasanya, sekitar pukul sebelas malam. Biasanya tidur lampu saya matikan, dan pintu kamar saya tutup. Kamar saya waktu itu memang kecil, sekitar 2,5 x 3 meter. Dan di kamar itu hanya terdapat lemari pakaian saya, TV tabung kecil dan rak buku beserta serakan buku. Tak seperti biasanya, tiba-tiba di tengah malam saya terbangun sesak. Sesaknya itu seperti ada sesuatu yang menindihi saya. Saya sadar tidak bisa gerak, dalam kegelapan saya bisa melihat TV dan lemari saya. Waktu itu posisi tidur saya tengkurap, dan sangat terasa sekali ada orang di atas tubuh saya sehingga saya ketindihan. Hal itu berlangsung tidak lama, mungkin sekitar lima menitan. Kemudian saya bisa sadar sepenuhnya. Saya nyalakan lampu, dan seketika itu saya tidur di kamar Rusdi tanpa minta izin darinya. Malam itu terasa sangat menakutkan, semua bulu kuduk berdiri. Semua lampu di kontrakan saya nyalakan. Di kamar Rusdi kejadian “Tindihan” tersebut tidak terulang.
Pagi hari Rusdi kaget melihat saya tidur di kamarnya. “koe ngopo e?” kata Rusdi. Lantas Saya menceritakan ketakutan saya ke semua teman-teman pagi itu. Namun respon dari teman-teman malah menertawaiku, seperti tidak percaya atau sedikit membuli. Ya itu sangat wajar karena memang di kontrakan ini tidak pernah sama sekali ada kejadian-kejadian yang berbau mistis.
…………….
Dua hari berselang dan tak terjadi apa-apa. Jujur saya masih mengalami traumatis akibat kejadian malam itu. Seluruh terman kontrakan sampai hari ini tidak ada yang memercayaiku. Memang sejak saat itu saya merasa ada sesuatu yang berbeda di rumah kontrakan ini. Hawa di kamarku tak terlihat seperti biasa. Memang tatanan kasur, lemari, dan rak buku masih seperti biasa. Lampu menyala seperti bisaya, namun.. suhu udara terasa lebih hangat, dan (mungkin) karena ketakutan saya sendiri yang membuat suasana terlihat lebih menakutkan. Seperti ada seseorang yang menunggu kamarku meskipun tidak ada siapa-siapa.
Sudah jam 23.30 saatnya terlelap. Saya tidak berani tidur di kamar saya karena masih merasa takut. Saya tidur di depan Tv, tepat di tengah-tengah rumah kontrakan yang dikelilingi oleh kamar-kamar teman saya. Di sebelah selatan ruang Tv yang saya tiduri ini, terdapat kamar Ahmad dan Haryadi. Mereka tidur di dalam kamar. Dan di sebelah tidur terdamat kamar Jamal. Sayapun terlelap…
Dalam lelapnya malam,terdengar samar suara lumayan berisik dan langkah kaki seseorang. Sayapun akhirnya terbangun dan sadar kalau ternyata itu adalah Haryadi yang keluar kamar. Saya lihat jam, Pukul 02.00 dini hari.
“kenapa Har?”
“gak papa, besok aja aku ceritain”

Haryadi kemudian membawa kasur keluar kamar dan menata di samping kasurku di ruang tengah di depan Tv. Si Ahmad yang satu kamar dengan Haryadi juga ikut tidur di depan Tv. Melalui intriknya saya sudah tahu kalau Haryadi juga di”tindihin” sebagaimana yang saya alami. Dan mereka tidur di ruang tengah juga membuat saya lebih berani. Sampai akhirnya kita terlelap di depan Tv hingga pagi hari.
Di pagi hari sebelum berangkat kuliah, kita berlima sudah bangun dan ngobrol di depan Tv. Haryadi bercerita panjang tentang pengalamannya malam itu.
“semalam bener-bener kacau” kata Haryadi.
“Saya tidur lumayan lebih pagi dibandingkan biasanya. Saya terlalu capek karena banyak tugas. Saya tidur duluan di dalam sedangkan si Ahmad masih diluar. Asal kamu tahu tidur saya terlentang menghadap atas. Memang gaya tidur saya kaya gitu dari dulu. Saya tidur nyenyak, dan tiba-tiba ada perasaan tidak nyaman. Saya merasa susah nafas. Tiba-tiba ada perasaan takut yang amat dalam. Saya tidak pernah setakut ini. Seketika ketika saya ingin bangun, badan saya tidak dapat digerakan sama sekali. Saya mencoba teriak, tapi tidak ada suara keluar dari mulut ini. Namun dari semua badan yang sudah untuk digerakan, hanya kaki yang benar-benar tidak bisa digerakan. Saya mencoba memberontak dan menggerakan anggota badan yang bisa saya gerakan. Saya memanggil Ahmad dengan susah payah, namun jua tak beruara hanya desahan-desahan kecil seperti teriak yang ditutup. Saya mencoba membuka kelopak mata dan melihat ke atap rumah. Gelap namun masih disinari oleh lampu ruang tengah yang masuk melalui ventilasi. Saya usahakan untuk melihat ke arah kaki, dimana kaki benar-benar tidak bisa digerakan sama sekali. Susah sekali badan ini untuk digerakan, selama beberapa menit, badan saya hanya bergerak beberapa sentimeter. Ketika melihat ke arah kaki dengan menggerakan leher, betapa kagetnya kalau banyak anak kecil yang memegang kakiku. Ada beberapa darinya hanya berlari-lari kamar. Saya takut setengah mati. Tak lama kemudian pintu kamar terbuka. Terlihat lampu terang menyinari dari arah ruang tengah. Ahmad masuk dan menggerakan tubuhku. Setelah itu aku bisa bergerak dan lari ke luar kamar menuju ruang tengah. Si Ahmad juga mengikutiku. Setelah itu Saya gak berani cerita, dan akhirnya saya ceritakan pagi ini.”

Mendengar cerita itu Saya langsung berkata “bener kan yang saya alami itu ada relevansinya”. Jamal, Rusdi, dan Ndalepok sontak juga merasa takut atas kejadian yang terjadi di rumah kontrakan ini. Seolah-olah ada sesuatu yang ingin menteror di tengah malam. Sejak malam itu kami selalu tidur bersama di ruang tengah depan Tv.
Beberapa hari kemudian ada saudara saya menginap di kontrakan. Saya persilakan untuk tidur kamar saya. Dia datang dari jauh dan menginap semalam. Saya dan teman-teman masih tetap tidur di depan Tv. Di tengah malam, saudara saya keluar dari kamar.
“kenapa?” tanyaku
“gapapa, cuman tadi seperti ditindihin” katanya.
Selang beberapa lama kemdian saudaraku kembali kemarku untuk tidur. Hingga pagi menjelang.
Di pagi hari, saudarku cerita panjang lebar. Bahwa dia mengalami teror yang lumayan di kamar saya. Dia adalah orang yang belum pernah mengalami kejadian mistis sama sekali. Dan ketika dia nginep di kamarku, dia mengalami “tindihan” lebih dari empat kali dalam semalam. Dia tidak bisa tidur dan merasa ada sesuatu yang menghantuinya. Saya akhirnya cerita, kenapa kita tidur di ruang tengah bareng-bareng karena ada beberapa kejadian yang gak bikin nyaman. Diapun paham, namun kita semakin percaya bahwa ada teror yang menimpa rumah kontrakan ini.
Yang menarik dari teror ini adalah, selalu dilakukan jam 02.00 dini hari. Dan teror terjadi apabila tidur sendirian di kamar tanpa orang lain. Ini benar-benar sangat membingungkan.
Pernah saya ketiduran di kamar saya. Waktu itu saya habis mengikuti kepanitiaan kampus sampai malam. Saya tiba di rumah kontrakan sekitar pukul 24.00 malam. Begitu selesai mandi, saya ganti baju di kamar. Teman-teman sudah tidur di depan Tv, kecuali Rusdi yang belum pulang. Saya tidur-tiduran di kasur dengan keadaan pintu kamar terbuka yang langsung menuju ruang tengah. Sanking ngantuknya mau membawa kasur ke ruang tengah, Saya berfikir bentar deh tidur bentar. Toh juga pintu terbuka, dan di samping pintu anak-anak terlihat tidur. Tak terasa saya ketiduran…
Saya merasakan ada sesuatu yang merasuki saya di waktu tidur. Persis seperti ketika tindihan. Saya merasa ada seseorang yang masuk perlahan ke tubuh. Badan mulai bergetar dan semakin susah untuk digerakan.
Lampu kamarku memang sudah mati dengan pintu yang terbuka menghadap ruang tengah. Lampu ruang tengah juga mati, hanya Tv yang hidup sebagai penerangan. Cahaya Tv sedikitnya masuk ke kamar saya, melihat saya tidur dalam keadaan siluet.
Badan susah tidak mau digerakan. Saya mulai susah untuk berteriak. Ketika ingin berteriak lebih jauh terdengar “Oi!!!”, seseorang teriak dari ruang tengah. Seketika itu saya loncat dari kasur dan melihat kalau ada Rusdi di ruang tengah. Rusdi berteriak kencang beberapa kali. Dia berkata;
“tidur kamarku aja”
“kenapa e rus?” tanyaku.
“besok aja aku ceritain” katanya.

Sayapun tidur di kamar Rusdi. Hingga di pagi harinya, dia berecerita bahwa dia pulang ke rumah kontrakan pagi dini hari pukul 01.45. Sesampainya di kontrakan dia ingin cuci muka dan sikat gigi. Kebetulan kamar mandi berada di belakang rumah yang harus berjalan melewati ruangan tengah tempat anak-anak tidur dan kamarku disampingnya. Ketika sampai di samping kamarku, dia melihat ke arah kamarku yang pintunya terbuka. Dia melihat ada sesuatu yang terlihat samar-samar di siluet, dan seketika memanggilku dengan sedikit berteriak. Begitulah ceritannya.
Teror ini juga terus berlangsung selama lebih dari lima bulan. Hampir seluruh penghuni kontrakan pernah tindihan. Mendengar suara-suara yang tak lazim. Bahkan ada yang melihat burung hantu yang hilang, burung hantu itu berada di pohon mangga di halaman depan. Sungguh tak masuk akal!
Jika diceritakan kejadian di rumah kontrakan ini, Saya yakin banyak sekali cerita. Namun nanti tulisan ini akan terasa sangat panjang. Saya perlu menceritakan hal yang dianggap ganjil. Di perempatan sebelum ke rumah kontrakan ini, terdapat ruamh kecil dipojokan yang gak dihuni siapa-siapa. Anehnya rumah tersebut menjadi kerajaan bagi kucing dan anjing. Banyak sekali kucing yang tinggal di rumah pojokan itu. Bahkan setiap malam, diperempatan terdapat anjing dengan muka bodoh duduk pas di tengah-tengah perempatan itu. Perempatan itu perempatan kecil yang gelap. Bukan hanya aku saja, setiap teman, baik yang tinggal di rumah kontrakan maupun tidak, selalu melihat sosok anjing ini menjaga perempatan setiap malam diatas jam 11. Puluhan kucing juga mendiami rumah itu. Banyak sekali kucing samapi saya sudah untuk mendeskripsikannya. Hingga sekarang saya masih bingung kenapa bisa seperti itu. Apakah ada rumah yang disediakan untuk hewan yang tidak bertuan. Atau seperti apa. Yang aneh adalah, rumah hewan ini hanya aktif pada waktu malam. Waktu siang tidak pernah saya jumpai ada binatang apapun di rumah kecil pojok ini.






x

Selasa, 15 Juli 2014

Hi De' Summer

“500 Days of Summer
Tipikal “Summer” tidak hanya terjadi dalam film 500 Days of Summer, banyak “Summer” lainnya yang berkeliaran dalam dunia nyata.
Tapi bagaimanapun juga tidak dapat menyalahkan perempuan sebagai subjek jelmaan Summer. Mungkin mereka merasa nyaman terhadap seseorang dan hanya membutuhkan kenyamanan itu saja. Komitmen dan apapun bentuknya itu adalah perusak kenyamanan itu sendiri.
Mungkin juga kenyamanan itu tidak didapatkan dari seorang saja, melainkan beberapa orang. Dan komitmen merupakan penghalang untuk mendapatkan kenyamanan kolektif tersebut.
Saya bisa memahami hal tersebut secara teori, namun tidak secara perasaan.
Perasaan selalu mengatakan bahwa komitmen merupakan simbol untuk saling menjaga, saling menghormati hak-hak komitten agar pada akhirnya tidak terjadi kekecewaan diantara dua belah pihak.
Manusia selalu membutuhkan simbol untuk menjaga kestabilan politik, karena bagaimanapun juga manusia adalah manusia. Terlalu banyak variabel yang berpengaruh untuk menghasilkan variabel lainya. Tanpa simbol manusia terpecah. Tanpa simbol banyak manusia sakit oleh sesuatu yang (seharusnya) tidak menghasilkan kesakitan.

Minggu, 29 Juni 2014

CERITA LAIN DARI JAZIRAH ARAB



                Salah satu Teman Belum lama ini dia menjalankan ibadah umroh bersama keluarganya. Ketika dia pulang ke jogja, tak segan-segan dia menceritakan pengalaman umrohnya, cerita ini bukan sekedar cerita biasa yang dilontarkan oleh mereka yang telah menginjakan kaki di tanah arab, melainkan sebuah cerita yang secara tidak langsung membuka wawasan kita untuk menilai kebudayaan arab dari sisi yang jarang diangkat orang.

                “ketika saya keluar hotel, saya menyalakan rokok kretek saya yang di bawa dari tanah air. Saya merokok di pinggiran hotel”, begitu teman saya memulai cerita. “namun tiba-tiba seorang penduduk lokal berteriak, HARAM! HARAM! Dari kejauhan dan menunjuk ke arah saya dengan jemarinya. Orang itu berjalan ke arah saya masih menyebutkan kata haram. Saya sudah bingung karena takut telah melakukan kesalahan di negara yang dianggap sebagai tempat tersuci di dunia oleh kaum muslim. Namun ketika orang itu dihadapan saya, tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah bungkus rokok dari sakunya, dan berkata, This Is Halal dengan logat arab yang kental. Seketika itu saya tertawa dan menganggap bahwa orang arab mempunyai selera humor yang tinggi”. Saya tertawa mendengar cerita teman saya tersebut. yang menjadi sorotan bagi saya adalah penggunaan konsep ‘haram’ dan ‘halal’ untuk menyatakan sesuatu sebagai hal yang dianggap melanggar hukum ataupun tidak.
                Teman saya kemudian melanjutkan bahwa dia mengobrol dengan orang tersebut. orang tersebut ‘menawarkan’ perempuan. orang tersebut menawarkan perempuan bukan dalam artian perempuan jalang seperti di indonesia. Melainkan menawarkan anaknya untuk bisa dimiliki ketika anak itu sudah ‘halal’ yang menandakan anak itu cukup secara umur. walaupun pembicaraan mereka masih tergolong dalam koridor joke, namun hal tersebut bisa mengarah kepada konsep serius jika ditilik lebih dalam. Jika bentuk penghargaan terhadap perempuan di arab dianggap sebagai bentuk transaksional saja, dalam artian bahwa perempuan dianggap dimiliki oleh pria jika sudah ‘dibeli’ dengan mahar ketika ingin menikahinya maka kasus-kasus mengenai TKW indonesia yang mengalami kekerasan, baik kekerasan fisik maupun seksual merupakan bentuk pemahaman terhadap dua kebudayaan yang sangat berbeda. Di satu sisi menganggap itu sebagai kejahatan yang tidak layak karena kita memandang permepuan dengan posisinya di indonesia. Sedangkan di satu sisi, perempuan yang dianggap ‘terbeli’ dalam artian telah membayar untuk bisa dipekerjakan di tempatnya, mereka menganggap memiliki hak untuk melakukan sesuatu diluar kontrak kerjanya. Karena memang kebudayaanyalah yang telah menkonstruksi selama beratus-ratus tahun lamanya.
                Posisi perempuan tersebut bisa dipahami lebih jauh ketika teman saya menceritakan kebanggaan orang arab untuk memiliki istri. Semakin banyak istri seolah-olah nilai prestigenya semakin tinggi. Teman saya yang baru berumur 23 tahun, ditanya oleh pemuda arab yang bermumur 24 tahun.
“umur berapa?”, pemuda arab itu bertanya.
 “23 tahun.” Teman saya menjawab.
“Istri berapa?”
“masih single”
Mendengar jawaban teman saya tersebut, pemuda arab tersebut langsung menjawab,
“saya, umur 24 tahun, istri dua, hahaha” sambil tertawa sambil menunjukan kebangganya memiliki istri lebih dari satu di usia muda.
Tapi semua itu kembali kepada pribadi masing-masing untuk memahami fenomena tersebut. karena bagaimanapun informasi ini hanya berdasarkan pengalaman yang ada, pengalaman teman saya.



Jumat, 27 Juni 2014

ORANG DESA BICARA POLITIK (Pengalaman 'Diserang' oleh Masyarakat Desa Tentang PILPRES 2014)


Tulisan ini bukan bertujuan untuk mengarahkan pembaca untuk memilih seseorang. Namun tulisan ini hanyalah pengalaman saya yang dibumbui dengan pendapat berdasarkan info-info yang saya percayai sebagai dasar untuk menentukan pemimpin negeri. tulisan ini tidak bermaksud mengajak, hanya memberi pemahaman terhadap fenomena yang ada dari sudut pandang saya.

      Tiga hari yang lalu saya pergi ke tempat om saya di daerah Temanggung, Jawa tengah dalam rangka acara keluarga. keluarga besar saya datang berkumpul dalam satu rumah. Bapak-bapak, ibu-ibu, simbah semuanya datang. Dalam perkumpulan itu ada satu kejadian yang sempat menjadikan saya berfikir beberapa kali untuk melihat lebih dalam suatu fenomena. Ketika saya berkumpul dalam sebuah kelompok yang terdiri dari bapak-bapak paruh baya, dan beberapa terdapat simbah yang bisa dikatakan tua, saya tidak sengaja memulai percakapan yang mengarahkan mereka pada pembicaraan yang sedang hangat saat ini. Capres.
       Dalam sekejap, saya ‘diserang’ oleh beberapa bapak-bapak yang mempertahankan bahkan mensugesti bapak-bapak lain untuk mengikuti pendapatnya. Beberapa dari mereka saling melengkapi, beberapa dari mereka hanya diam mengangguk-angguk seolah-oalah tidak paham terhadap situasi.
      Sebagai orang yang mempunyai pandangan yang berbeda dibandingkan dengan rata-rata pandangan mereka, di satu sisi saya merasa senang, sendangkan disisi lain saya merasa sedih.
      Saya senang karena masyarakat mulai sadar politik, masyarakat mulai sadar bagaimana pemimpin negara merupakan ujung tombak dari kebijakan-kebijakan yang secara langsung maupun tidak akan memengaruhi nasib mereka. Namun disisi lain saya merasa sedih karena kesadaran politik mereka tidak diimbangi dengan kesadaran toleransi, tidak diimbangi kesadaran menghargai pendapat orang lain. Saya melihat bagaimana mereka saling ‘memaksakan’ pendapat untuk memilih nomor sekian, terutama nomor di sebelah kanan. bahkan tidak segan-segan salah satu dari mereka ‘memerintahkan’ kepada kelompok itu untuk memilih nomor kanan.
      Saya sebagai seorang yang mempunyai pandangan bersebrangan dari rata-rata mereka tentunya menjadi bulan-bulanan yang tidak lagi mempunyai suara. Seolah-olah hak menyampaikan pendapat saya dicabut. Setiap saya menyampaikan atau membenarkan suatu informasi, dianggap sebagai sesuatu yang salah. Sebenarnya apa yang membuat masyarakat bisa begitu kolot untuk mempertahankan apa yang dia percaya?. Saya terus berfikir mengenai hal itu, karena kebanyakan pendapat mereka bukan merupakan pendapat yang valid. Kebanyakan dari mereka termakan oleh informasi-informasi yang didistribusikan oleh televisi. Begitu hebatnya televisi hingga bisa memengaruhi pemikiran masyarakat sebegitu hebatnya. Yang menjadi masalah adalah, mereka memahami fakta-fakta yang disampaikan oleh televisi dengan cara pandang mereka. Mereka memahami setiap informasi-informasi yang disampaikan di televisi sebagai sebuah informasi final yang tidak dapat diganggu gugat kebenaranya. Seolah-olah semua informasi itu adalah fakta-fakta yang memang berasal dari lapangan.
       Saya tidak pernah terpikirkan bahwa pemakaian kata “dipecat secara terhormat” yang dilontarkan oleh salah satu tim sukses prabowo dalam sebuah wawancara di sebuah stasiun TV maupun hal sejenis lain yang relevan merupakan ‘senjata’ yang sangat ampuh untuk masyarakat di daerah, khususnya masyarakat pedesaan. Saya selalu memahami kalimat tersebut sebagai sesuatu yang biasa saja. Karena mungkin pola pikir saya berdasarkan koridor hukum yang berlaku. Saya selalu melihat pola yang ada, KPU dapat meloloskan prabowo sebagai calon presiden, tentunya dia sudah lolos dari regulasi KPU yang tentunya berdasarkan konstitusi yang ada. dan pola tersebut yang saya jadikan dasar untuk menentukan apakah kasus-kasus yang sering diangkat di televisi tersebut relevan dengan pencapresan tokoh tersebut atau hanya dijadikan sebagai senjata untuk berebut suara.
        Namun untuk masyarakat pedesaan, kalimat tersebut merupakan senjata yang sangat ampuh. Kalimat tersebut dicerna secara mentah berdasarkan pemahaman mereka tentang konsep pemecatan. di desa mereka memahami konsep pemecatan sebagai sesuatu yang dikeluarkan secara paksa, dan tidak ada konsep ‘pemecatan secara hormat’. Karena mereka menganalogikan dengan konsep yang mereka pahami setiap hari. ‘pemecatan’ dan ‘penghormatan’ merupakan konsep yang saling berlawanan, dan mereka tidak bisa memahami hal tersebut sebagai satu kesatuan.
      Hal ini relevan dengan pola kerja mereka yang tidak mengenal istilah-istilah yang biasa kita pahami dalam bekerja. Jika dalam model perusahaan, pola resign bisa dalam berbagai bentuk yang kita pahami sebagai sesuatu yang tidak sama. Diberhentikan, mengundurkan diri, dipecat  merupakan konsep yang dipahami sebagai kesatuan yang berbeda. Sehingga bisa dikatakan bahwa masyarakat yang mempunyai akses terhadap sektor formal ini (yang cenderung berpendidikan lebih tinggi dibandingkan dengan di desa) dapat memahami arti baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dimaksutkan bahwa masyarakat mengerti struktur yang ada dalam kemiliteran sehingga dapat menyimpulkan sendiri istilah ‘pemecatan terhormat’ yang telah banyak dilontarkan sebagai sesuatu yang wajar. Tidak langsung dimaksutkan bahwa dengan mengerti banyak konsep yang ada tentang berhentinya suatu jabatan, dapat memahami bahwa pemberhentian seperti yang diutarakan diatas merupakan sesuatu yang wajar, walau secara teknis tidak mengerti, atau dapat dikatakan masyarakat jenis ini mengerti pola yang ada. saya terus ingat ketika salah satu dari orang tua tersebut berbicara lantang, “masa ada dipecat kok dengan hormat, namanya dipecat yang tetep dipecat. Aneh-aneh aja mau buat istilah”. Orang tua yang lain juga menanggapi dengan nada yang saling mendukung. Dia bahkan menganalogikan dengan salah satu rekan dia yang dipecat karena melakukan suatu kejahatan di tempat kerja, “ liat si A, masa iya dia kita bisa bilang kalo dia dipecat menggunakan cara terhormat? Tidak mungkinlah!”. Hampir semua bapak-bapak saling bersaut suara mendukung informasi yang mereka cerna dengan pengertian mereka. Sangat disayangkan media menggunakan cara-cara ‘alternatif’ dengan memilih diksi tertentu yang ditujukan untuk masyarakat pedesaan.
         Hal serupa juga terjadi dalam pemakaian atribut. Sepertinya masyarakat pedesaan sudah mulai trauma untuk memilih seseorang yang berlatar belakang elit. Paradigma yang ada menganggap bahwa para elit identik dengan korupsi yang berarti mengesampingkan kompetensi. Sehingga figur yang dekat dengan mereka menjadi sesuatu yang dirindukan oleh masyarakat. Figur ini selalu diidentifikasikan dengan ciri fisik yang lebih dekat dengan keseharian mereka. Ciri fisik ini merupakan representasi pengalaman-pengalaman terhadap cara berpakaian, berfikir, bertindak, dan berbicara. Saya masih menyoroti pengalaman saya tersebut. ketika mereka bersikeras mendukung jokowi dengan alasan memakai sepatu yang berharga 100 ribu. Salah seorang berkata “coba liat jokowi, sepatu aja 100 ribu, kaya gitu itu masih mau dibilang korupsi?”. Saya berfikir keras, bagaimana mereka menyatakan seseorang sebagai seorang yang tidak korupsi hanya menggunakan indikator ciri atribut?, sedangkan informasi yang diterima hanya didapatkan melalui media televisi tanpa melihat faktor lain yang seharusnya bisa dijadikan indikator yang lebih valid daripada hanya berdasarkan ciri atribut. 
      Saya kembali kepada media yang terus ‘berperang’. Di satu sisi selalu menonjolkan figurnya dengan cara mencari kelemahan lawan. Disatu sisi selalu menunjukan kelebihan yang ada dalam figurnya dan tidak dimiliki figur lain. Konsep-konsep seperti itu merupakan bentuk penetrasi kepada masyakat (terutama masyarakat pedesaan) yang secara tidak langsung mempresepsikan dirinya untuk menganggap bahwa ciri-ciri tersebut merupakan bentuk yang harus dipertimbangkan dalam menentukan.  Sebagaimana yang telah saya singgung diatas, bagaimana sebuah harga sepatu menentukan persepsi. dengan keterbatasan akses, baik informasi maupun pendidikan. Masayarakat pedesaan selalu menganggap semua informasi yang ada dalam televisi sebagai informasi final. Tak heran jika apa yang mereka tonton setiap hari merupakan bentuk konsumsi fakta yang (mungkin) sebenarnya hanya sebuah peristiwa transaksional saja. media merupakan bentuk jual beli fakta maupun sesuatu yang dianggap sebagai fakta (difaktakan).
    Perdebatan diantara bapak-bapak tersebut memuncak ketika membicarakan sektor paling strategis di negri ini. Pertanian!. Dan ketika mereka membicarakan hal ini secara meluap-luap, saya terkejut dan sungguh diluar dugaan saya mendengar pernyataan mereka yang  berbicara bagaimana ketidaksetujuan mereka terhadap konsep pemajuan di bidang sektor pertanian. Saya heran karena bagaimanapun juga mereka hidup didasarkan atas sektor pertanian, namun mereka sendiri yang membantah bahwa mereka tidak akan hidup sebagai petani. Saya mulai paham ketika pernyataan mereka hanya didasarkan bagaimana kesejahteraan yang mereka dapat tidak sebanding dengan pengorbanan mereka. Mereka menganggap bahwa sektor pertanian tidak dapat diandalkan. Mereka selalu menyatakan, “mending jadi buruh pabrik, gaji udah lumayan bisa makan. Daripada jadi tani, mau ngapa-ngapain selalu bangkrut. Aku kasih tau ya kamu, jadi petani itu paling susah. Mau nyekolahin anak aja harus jual tanah pertanian yang menjadi tumpuan hidup. Toh apabila lahan itu dikelola sendiri, belum tentu bisa makan hasilnya”. Saya mulai paham bahwa adanya trauma di masyakat petani (khususnya di temanggung) sebagai akibat ketidakstabilan harga komoditas. Mereka membenci pekerjaan mereka karena mereka tidak punya harapan bahwa sektor pertanian dapat mensejahterakan mereka.

Saya lanjutkan besok deh.... ngantuk nih.

Rabu, 18 Juni 2014

MASALAH

Tidak ada hidup yang tanpa masalah, adanya masalah yang tidak dipermasalahkan. Karena mempermasalahkan berarti menemukan masalah. (Faruk HT)

Minggu, 14 Juli 2013

Pohon Cemara dan Bambu China



Kemarin saya nonton Pacific Rim. Sebuah film yang menurut saya seperti nonton  serial ultraman sewaktu saya kecil. Film di mulai jam setengah Sembilan dan selesai sekitar jam setengah sebelas. Selesai menonton saya menyempatkan untuk makan di lesehan Dara di jalan solo, jogja.
Selesai makan, saat saya ngobrol dengan teman saya, ada bapak-bapak (lebih tepatnya kakek-kakek) dengan anak atau cucu berjualan pohon cemara dan bamboo china! Jam sebelas malam jualan tanaman! Saya gak tau apa motiv bapak-bapak itu jualan tanaman malam-malam. Jualanya hanya sekitar  lima item saja. Dua cemara, dan tiga  bamboo china. Tanaman itu dibawa tanpa menggunakan alat bantu apapun. Sambil keliling berjalan kaki dia menawarkan ke orang-orang yang sedang makan disitu.
Mungkin karena wajah orang tua itu terlihat letih, akhirnya saya membeli dua biji pohon itu. Dan setelah saya piker-pikir, saya telah melakukan sesuatu yang aneh. Saya membeli pohon di tengah malam, di warung lesehan sambil makan.  Dan sampai sekarang saya masih mikir, apa sih motif mereka selain mencari nafkah untuk melakukan sesuatu yang sekonyol itu.



MEMAHAMI MAKHLUK ASTRAL SECARA LOGIS? APAKAH BISA?

Saat itu saya sedang berada di kantin kampus. Kebetulan hari itu saya ada janji dengan teman saya untuk membicarakan sesuatu.  Sambil menyantap makanan kantin kami berbincang banyak hal hingga masuk ke diskusi serius.
Diskusi itu kemudian membawa kami untuk membicarakan sesuatu yang tidak dapat dipikir secara nalar. Kebetulan sekali kami berempat mempunyai karakter yang berbeda, sehingga diskusi itu sedikit-banyak memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Saya merupakan orang yang sedikit banyak telah mengalami kejadian-kejadian yang diluar nalar, sehingga bukan berarti menganggap sesuatu yang bersifat mistik itu ada, namun abstraksi akibat pengalaman tersebut membuat “seolah-olah” ada. Teman sekaligus dosen saya, mas alvein. Dia merupakan orang yang kritis mengenai hal-hal seperti ini juga bercerita mengenai pengalaman-pengalaman dia. Dia merupakan perumus yang baik, untuk mengaitkan bagaimana sesuatu yang tidak bisa dipikir secara logis, menjadi sesuatu yang logis dan ilmiah. Sedangkan teman saya yang satu, lawung. Merupakan orang yang sangat logis. Dia hampir tidak percaya adanya makhluk-makhluk astral. Sebagai seorang agnostic dia menganggap bahwa semua dapat di jelaskan dengan ilmiah. Mengenai fenomena-fenomena yang tidak masuk akal tersebut hanyalah sesuatu yang bisa dijelaskan secara ilmiah.
Diskusi itu dimulai saling berbagi cerita tentang pengalaman-pengalaman mimpi yang terasa aneh. Aneh karena pengalaman mimpi itu sangat berkesan. Saya pernah mengalami mimpi yang terjadi selama 4 hari berturut-turut. Waktu itu saya masih duduk di bangku sd. Bahkan saya sampai takut untuk tidur gara-gara mimpi itu. Seingat saya, mimpi itu merupakan mimpi yang putih. Dunia putih, saya merasa sangat takut karena di kejar-kejar oleh sesuatu yang tidak bisa saya jelaskan. Bahkan ketakuran yang saya alami ini tidak bisa dijelaskan setelah saya bangun. Seolah-olah konsep-konsep yang ada di dalam mimpi ini tidak terjadi di dunia nyata. Dalam mimpi itu saya diangkat keatas oleh sesuatu yang tidak bisa saya jelaskan. Dan kegiatan yang berlangsung dalam mimpi itu tidak dapat dijelaskan karena tidak ada bahasa yang cocok untuk menjelaskanya.
Mas alvein juga menanggapi. Bahwasanya dia pernah merasakan roh keluar dari dalam tubuhnya. Itu terjadi secara real. dia bercerita bahwa roh itu keluar perlahan dari tubuhnya melalui ujung kakinya, dan dia dapat melihat jasad tubuhnya.
Karena belum ada ilmu pengetahuan yang ada itu hanya bersifat kausal, berarti suatu kejadian itu ada karena ada penyebabnya maka fenomena-fenomena ini hanya dianggap imaji, halusinasi atau abstraksi dari otak yang tidak bisa dibuktikan secara nyata.  Namun apabila hal-hal seperti ini merupakan abstraksi dari otak kita, mengapa istilah istilah yang mengacu kepada hantu, setan dan makhluk astral lain ada di seluruh dunia? Bahasa muncul berdasarkan evolusi komunikasi nonverbal ke verbal.  Bahasa terbentuk berdasarkan kesepakatan antara pembicara dan yang diajak bicara. Sehingga muncul bahasa-bahasa yang berkembang di suatu komunal tertentu. Bahasa di tempat yang mempunyai akses lebih sulit ke tempat lain cenderung mempunyai bahasa lebih komplek daripada yang mempunyai akses mudah. Dan yang menjadi pertanyaan adalah istilah yang mengacu pada “hantu” telah ada di seluruh dunia. Hantu, ghost, syaiton, dll merupakan istilah yang sama untuk makhluk di luar manusia. Bahasa itu telah ada sebelum adanya kemudahan akses seperti zaman sekarang. Berarti istilah itu ada dan berkembang dikarena apa yang diistilahkan memang ada di seluruh dunia. Lantas kenapa tidak ada ilmu pengetahuan yang mengakuinya sebagai suatu yang ilmiah?
Pembicaraan kami berlanjut. Lantas kenapa paranormal, “orang pinter”, dukun atau istilah yang mengacu pada konsep yang sama tidak dianggap sebagai ilmuan makhluk astral? Bukankan mereka membentuk pola yang sama di seluruh dunia?, mereka bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk astral itu tanpa kita tahu bagaimana cara mereka melakukanya. Namun di setiap wilayah, mempunyai cara yang hampir sama untuk semua paranormal, bagaimana mereka berkomunikasi, bagaimana mereka menggunakan symbol-simbol dan peralatan tertentu, bagaimana attitude mereka dll. Bukankah itu sebuah pola yang tidak terbentuk dikarenakan mereka sepakat begitu saja? Itu merupakan sesuatu yang yang memang harus ada dan menjadi standar operasi mereka, karena bukan mereka yang menentukan untuk menjadi dan mengikuti standar yang ada, namun sistem yang tercipta karena kebutuhanya terhadap apa yang digelutinya yang membuat demikian rupa. Dengan istilah lain, sistem yang membuat mereka seperti itu, bukan mereka yang menentukan sistem mereka sendiri.
Menurut saya, mereka pantas disebut sebagai ilmuan. Karena mereka mempunyai prosedur tersendiri dalam mengungkap hal-hal yang tidak dapat diungkap. Walaupun mungkin hal-hal tersebut tidak bisa diterima di logika yang saat ini kita sepakati, tapi prosedur itu sudah digunakan dan disepakati oleh logika mereka.
Atau kalau menurut logika yang ada, makhluk astral itu merupakan makhluk yang biasa kita kenal dengan sebutan alien. Karena perbedaan dimensi waktu, mungkin saja mereka secara teknologi jauh diatas kita. Sehingga apa yang kita alami yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah itu merupakan “orang” di masa depan kita, entah itu dari dalam planet kita ataupun luar dengan teknologi yang jauh melampaui kita. Karena “fisika” kita berbeda dengan mereka, maka hal hal tersebut dianggap tidak masuk logika sekarang, dan dianggap sesuatu yang mustahil.
Jadi “penampakan” yang ada di seluruh dunia itu merupakan teknologi mereka yang diistilahkan dengan bahasa kita masing-masing.  Misalnya aja penyebutan naga, naga di barat itu mempunyai sayap. Sedangkan naga di timur itu tidak memiliki sayap. Alasanya mudah, karena dibarat itu mengikuti logika, dan di timur itu lebih cenderung mistis. Naga bisa terbang karena mereka bersayap, sedangkan di timur, naga bisa terbang karena dia makhluk legendaris yang tidak membutuhkan logika sekarang untuk dapat terbang. Begitu juga pocong, kuntilanak, vampire dan lain-lain itu mengikuti kebudayaan yang ada di daerah itu. Dan karena penggambaran masyarakat yang ada sedemikian rupa, sehingga menimbulkan ekspetasi yang  berbeda-beda diantara kita.
  Jadi kesimpulanya,
1.       Makhluk astral itu ada karena kita memikirkanya dan menjadi abstraksi bawah sadar kita
2.       Makhluk astral itu ada, dan hanya orang-orang yang kompeten yang mampu memahaminya
3.       Makhluk astral itu merupakan jelmaan manusia/alien karena  teknologi  dan dimensi waktu yang berbeda
Ditambahin aja, ini memang ngaco, tapi membuat kita terus berfikir :D

Jumat, 12 Juli 2013

Balikpapan dan Samarinda



Minggu kemarin saya sempat mengunjungi ke dua kota ini. walaupun kunjungan saya singkat sekitar 1 minggu, paling tidak saya sudah bisa menilai ke dua kota ini secara subjektif. 
Balikpapan dari atas hotel Grand Tiga Mutiara :D
penerbangan dari jakarta ke balikpapan sekitar 1 jam 40 menit. mendarat di bandara internasional sepinggan. bandara ini lumayan besar dan terletak persis di pinggir pantai. bandara ini sangat dekat dengan kota, jadi hanya dibutuhkan sekitar 20 menit menuju pusat kota. kesan pertama ke balikpapan adalah: rapi, hijau, jalanan lancar. dalam perjalanan menuju tempat akomodasi saya, yaitu di hotel Grand Tiga Mutiara. Saya melihat jajaran hotel-hotel bintang 3 hingga 4 yang tersentralisasi di area tertentu. setelah sejenak istirahat dan rapat, sore itu juga saya langsung menuju samarinda, karena kebetulan tugas saya disitu untuk 4 hari kerja. perjalanan antara balikpapan-samarinda sekitar 3 jam dengan jarak sekitar 120 km. ditengah-tengah perjalanan, ada rumah makan terkenal yang bernama Tahu Samarinda. setelah menyantap disitu, kami melanjutkan menuju samarinda.

perjalanan itu terbilang cukup lama karena jalanan ramai. kami hampir menghabiskan 4,5 jam perjalanan. sesampainya di samarinda kami langsung menuju hotel, hotel MJ, karena itu sudah lebih dari jam 10 malam kami langsung tidur guna bangun pagi keesokan harinya.
Samarinda adalah ibukota dari provinsi kaltim. saya sempat berfikir bahwa samarinda lebih besar dari Balikpapan. namun esok paginya setelah saya melihat kenyataan ternyata....

samarinda itu kotor...
samarinda itu crowded...
samarinda itu....

Pokoknya samarinda dan balikpapan merupakan dua sisi yang sangat berbeda. jika kesan pertama melihat balikpapan merupakan kota yang bersih, samarinda kebalikanya. jalanan di samarinda penuh dengan debu. banyak alat berat di pusat kota dengan ban penuh lumpur sehingga mengotori jalanan. saya belum pernah melihat jalanan "Bebas Debu" di seluruh kota samarinda. jalanan di samarinda macet! sebenarnya jalanan di samarinda cukup besar untuk membuat kota samarinda tidak macet, namun kesadaran parkir warganya yang rendah membuat kota ini diambang tottaly blocked. bayangkan saya melihat ada mobil yang parkir di perempatan lampu merah. jadi kalo ada instruksi, ke kiri jalan terus, harus lihat dulu ada mobil gak sewaktu belok. bisa bisa malah nabrak mobil. sempat juga terkena macet di siang hari, dan setelah tau penyebabnya dalam hati saya tertawa. penyebab dari kemacetan itu adalah ada mobil yang parkir di lajur balik karena parkir penuh. jadi kendaraan lajur kanan dan kiri harus antri karena hanya terdapat satu lajur.

Makanan di samarinda juga super duper mahal! saya makan coto makasar di warung tenda kotor di pasar, berdua habis 47 ribu!. pernah juga makan di warung jenggo (sejenis warung angkringan/nasi kucing). saya mengambil 2 nasi, sedangkan teman dan driver saya hanya makan 1 nasi. makan dengan gorengan dan sate-sate yang tersedia ditambah teh anget. kalo di Jogja bertiga paling habis tidak nyampe 20 ribu. di samarinda 80 ribu!
stadion utama kaltim

disamping semua itu, samarinda adalah kota dengan fasilitas olahraga yang lengkap. bayangkan, baru lihat stadion, jalan 5 menit ketemu stadion lagi. sungguh kota stadion. bahkan di suatu komplek olahraga, ada hotel besar yang bernama hotel atlete. 
di dalam stadion utama kaltim
samarinda merupakan kota yang terbagi dua. samarinda kota dan samrinda seberang. yang memisahkan kedua wilayah ini adalah sungai mahakam yang luasnya kaya danau. saya beberapa kali ke arena olahraga yang terletak di seberang sungai, yaitu di daerah palaran. tepatnya di stadion utama kaltim. sebuah arena olahraga bekas PON 2008 yang sekarang sudah tidak terurus. komplek olah raga ini sangat sepi, sangat jauh dari camput tangan manusia :D. yang terlihat disini hanyalah sampah, rumput dan lumut. komplek olahraga yang besar ini seolah-olah sudah dilupakan sejak dibangun dan gunakan untuk PON. wah eman banget!

Jumat, 22 Maret 2013

Anda orang mana? Saya orang Indonesia

Beberapa tahun yang lalu saya bertemu dengan seseorang yang akhirnya dia menjadi teman saya. Saya masih ingat betul bagaimana percakapan awal saya dengannya. Seperti halnya orang yang pertama kali ketemu, sebagaimana halnya Budaya kita yang banyak menggunakan basa basi, saya menanyakan pertanyaan umum yang biasa dilontarkan orang. "Asli mana mas?" Sejenak dia terdiam. Tak berapa lama dia menjawab "saya asli Indonesia". Saya tertawa mendengar jawabannya. Dengan sedikit joke saya memancing "kok bisa?" Dia pun menjawab "saya lahir di Irian, ayah saya orang Medan sedangkan ibu saya orang Jawa. Di Irian saya cuman 3 tahun, kemudian saya pindah ke Pontianak sampai lulus TK. SD saya di Lampung samapai SMP kelas dua. Kemudian saya pindah Medan sampai lulus SMP. SMA saya di Jakarta dan kemudian kaya saat ini saya kuliah di jogja. Jadi aku harus jawab apa? Orang Indonesia bukan?"

Sambil tertawa saya terus berfikir, terus budaya apa yang dia pake? Maksud saya adalah budaya apa yang dominan di dirinya? Bukankah dari kita mempunyai budaya dominan? Saya misalnya, lahir dan dibesarkan di Jawa- lantas segala apa yang saya lakukan, baik konteks canda , gaya bicara maupun kelakuan setidaknya akan tercermin pada sebagian besar apa ya g dilakukan orang Jawa, walaupun pada akhirnya budaya tersebut akhirnya tercampur aduk menjadi Budaya baru, budaya Indonesia. Karena sehebat-hebatnya kita, pasti akan luluh dengan 'persilangan' budaya yang karena setelah adanya globalisasi 'nasional' persilangan antar ras,Suku maupun agama menjadi sesuatu yang Tak pelak dihindarkan. Karena bagaimanapun juga 'globalisasi' ini telah ada di bidang pendidikan, kerja, maupun yang lainnya.

Yang jadi poinnya adalah : 'globalisasi'itu membentuk suatu kebudayaan baru, kebudayaan campuran namun masih memperlihatkan kebudayaan ibu.

Saya sangat yakin kenapa 'pergesekan' antar budaya tersebut merupakan sesuatu yang positif, maksut saya positif apabila dilihat dari segi positifnya :D

bukan saya membenci kebudayaan saya. tapi saya membeci orang orang yang terlalu fanatik terhadap budayanya. kenapa saya benci, karena dengan mereka terlalu idealis berarti mereka mengabaikan kenyamanan kebudayaan lainya. karena pada dasarnya batasan bagus atau tidak itu relatif. orang daerah pegunungan yang terlalu cuek akan dianggap 'weird' oleh orang dataran rendah dan sebaliknya, orang desa yang jauh dari akses terhadap pusa-pusat pencampuran budaya akan dianggap negatif oleh orang orang yang terhegemoni kebudayaan baru. banyak yang membaggakan kebudayaan mereka dengan embel embel untuk mempertahankanya. namun apakah semua itu relevansi dengan perkembangan zaman yang terus berubah? bukankah itu malah akan membunuh diri secara perlahan.
mungkin kalo kebudayaan itu bersifat epic yang positif gitu tidak masalah, bisa dijadikan aset. namun jika kebudayaan tersebut bersifat tradisi yang (untuk zaman sekarang) dianggap negatif? seperti tata kesopanan yang parah. ludah di sembarang tempat, kentut di sembarang tempat, rokok tanpa tahu aturan kebersihan, atau topik pembicaraan seronoh di depan orang yang berpendidikan? bagi saya itu adalah sesuatu yang sangat tidak bisa ditoleransi.